Penyakit tuberkolosis (TB atau TBC) menyebar secara mudah lewat udara dan merupakan salah satu penyakit menular yang banyak menjangkiti penduduk  Indonesia. Penularan yang mudah melalui percikan ludah, maka tempat-tempat dengan kondisi hiegiene sanitasi, pencahayaan, kebersihan dan kepadatan hunian, dapat meningkatkan risiko terjadi penularan TB Paru, seperti halnya pada rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas), dengan kondisi hunian yang sangat padat, menyebabkan  penyebaran TB lebih parah. Menurut catatan World Health Organization (WHO) tentang risiko penularan atau Annual Risk of Tubercolusus Infection (ARTI) atau prevalensi TB pada masyarakat umum berkisar antara 1-3%. Sedangkan prevalansi TB di rutan dan lapas Indonesia pada tahun 2012 terdapat 1,9 persen populasi masyarakat rutan Indonesia terinfeksi TB, kemudian meningkat menjadi 4,3 persen tahun 2013, dan menjadi 4,7 persen pada tahun 2014.

Data dari Dirjen Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahwa  alasan banyaknya penyebaran TB di lingkungan rutan dan lapas adalah karena fasilitas yang kurang memadai pada rutan dan lapas.  Terdapat 463 rutan di Indonesia yang berkapasitas 105 ribu orang namun rata-rata diisi sampai 160 ribu orang. Menurut data sistem database permasyarakatan bulan mei tahun 2018, Lapas Narkotika Kelas IIA Karang Intan over kapasitas 282% (Tahanan dan napi 382 orang, kapasitas 100 orang).

Berdasarkan uraian di atas maka tempat-tempat seperti lapas/rutan  merupakan lingkungan dengan populasi yang terkonsentrasi pada tempat dan waktu yang sama, sehingga merupakan salah satu lingkungan potensial terjadi penularan TB Paru. Oleh karena itu dipandang perlu dilakukan  kajian untuk mengetahui besaran masalah TB Paru di tempat – tempat khusus antara lain lapas/rutan,  serta faktor risiko yang memperngaruhi terjadinya penularan TB Paru di lapas/rutan.

Kajian faktor risiko kejadian TB di Lapas Narkotika Kelas IIA Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan dilaksnakan pada tanggal 19 – 21 Maret  2019.

Menurut data program TB Paru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 bahwa cakupan suspek yang paling tinggi didapat pada tahun 2017 yaitu sebesar 3.960 orang, kemudian cakupan positif yang paling tinggi pada tahun 2016 sebesar 449 orang dan Case Notification Rate yang paling tinggi pada tahun 2016 sebesar 196.6.

Tahun 2016 cakupan suspek tertinggi sebanyak 475 orang dan cakupan BTA Positif tertinggi sebanyak 59 orang adalah Puskesmas Martapura 1, Tahun 2017  cakupan suspek tertinggi sebanyak 538 orang dan cakupan BTA Positif tertinggi sebanyak 60 orang adalah Puskesmas Martapura 1. Tahun 2018 cakupan suspek tertinggi sebanyak 345 orang adalah Rumah Sakit Ratu Zaleha dan cakupan BTA Positif tertinggi sebanyak 53 orang adalah  Puskesmas Martapura 1.

Hasil Kegiatan

Total responden dalam kajian ini sebanyak 330 orang. Karakteristik responden menurut umur, berdasarkan golongan umur mayoritas  35-44  tahun sebanyak 36,4%, umur 25-34 tahun sebanyak 33,0%, umur 45-54 tahun sebanyak 18,8%, umur 15-24 tahun sebanyak 6,7%, umur ≥55 tahun sebanyak 5,1%, sedangkan umur ≤14 tahun tidak ada. Sedangkan karakteristik responden menurut jenis kelamin mayoritas laki-laki sebanyak 100%.  Sedangkan menurut tingkat pendidikan responden, terbanyak adalah lulusan SD dan sederajat sebanyak 34,6%, sedangkan paling sedikit adalah dari Akademi/PT dan tidak sekolah masing-masing sebanyak 2,1%.

Variabel lamanya tinggal di lapas dibagi menjadi 2 yaitu yang tinggal <6 bulan sebanyak 3,1%, dan yang tinggal ≥6 bulan sebanyak 96,9%. Sedangkan variabel status gizi dibagi menjadi 2, yaitu gizi kurang apabila perhitungan status gizinya <18 tidak ditemukan, sedangkan gizi lebih sebanyak ≥18 sebanyak 100%.

Variabel meludah sembarangan dibagi menjadi 3 yaitu yang menjawab  “Ya”  (berisiko tinggi) sebanyak 18,8%, yang menjawab “Tidak” (kurang berisiko) sebanyak 79,1%, dan yang menjawab “kadang-kadang” sebanyak 2,1%. Sedangkan variabel responden yang telah imunisasi BCG dibagi menjadi 3, yaitu yang menjawab “Ya”  sebanyak 56,4%, yang menjawab “Tidak” sebanyak 42,4%, dan yang menjawab “Tidak Tahu” sebanyak 1,2%.

Variabel kepadatan hunian dibagi menjadi 2, yaitu kepadatan <8 orang/m2 dan   (kurang berisiko) tidak ada, sedangkan kepadatan >8 orang/m2 (berisiko) sebanyak 100%. Sedangkan variabel ventilasi kamar dibagi menjadi 2, yaitu yang menjawab “Ada” (kurang berisiko) sebanyak 91,8%, sedangkan yang menjawab “Tidak” (berisiko) sebanyak  8,2%.

Variabel pengguna bong dibagi menjadi 2, yaitu yang menjawab “Ya” (Berisiko) sebanyak 87,9%, sedangkan menjawab “Tidak” (Tidak berisiko) sebanyak  12,1%. Sedangkan variabel penderita HIV/AIDS dibagi menjadi 3, yaitu yang menjawab “Tidak” sebanyak 91,8%, dan yang menjawab “Tidak Tahu” sebanyak 8,2%, sedankan yang menjawab “Ya” tidak ada.

Variabel penderita Hepatitis C dibagi menjadi 3, yaitu yang menjawab “Ya”  sebanyak 2,4%, yang menjawab “Tidak” sebanyak 72,4%, sedangkan yang menjawab “Tidak Tahu” sebanyak 25,2%. Sedangkan variabel penderita Diabetes Mellitus dibagi menjadi 3, yaitu yang menjawab “Ya”  sebanyak 1,5%, yang menjawab “Tidak” sebanyak  74,2%, sedangkan menjawab “Tidak Tahu” sebanyak 24,3%. Variabel teman sekamar menderita TB Paru dibagi menjadi 3, yaitu yang menjawab “Ya”  sebanyak 20,9%, yang menjawab “Tidak” sebanyak  77,9%, sedangkan menjawab “Tidak Tahu” sebanyak 1,2%.

Selain variabel di atas ada beberapa variabel tambahan responden yang berisiko sebagai penular TB Paru yaitu riwayat pernah menderita TB Paru 1,2%, pengobatan TB Paru sebanyak 1,2%, pengobatan 6 bulan (tuntas) sebanyak 0,9%, mengetahui menderita TB Paru sebanyak 1,2%, sedang menjalani pengobatan TB Paru sebanyak 0,3%, riwayat keluarga menderita TB Paru sebanyak 4,5%.

Dari 330 orang responden yang diwawancara dengan kuesioner dan skrining gejala didapatkan 4,2% suspek yang dilanjutkan dengan pemeriksaan BTA di Puskesmas Karang Intan dan hasilnya dari 14 suspek tersebut tidak ada yang positif secara mikroskofis (Pemeriksaan BTA).

Pembahasan

Walaupun tidak ditemukan kasus BTA positif baru yang ditemukan pada survei ini tetapi angka prevalensi TB Paru yang ditemukan sebelum masuk lapas relatif tinggi yaitu 1,2%. Faktor-faktor risiko terjadinya penularan TB di lapas   relatif tinggi antara lain karena lama tinggal di Lapas >6 bulan sebesar 96,9%, kebiasaan meludah sembarangan sebesar 18,8%, tidak pernah imunisasi BCG sebanyak 42,4%, kepadatan hunian >8 orang/m2 sebesar 100%, yang tidak mempunyai ventilasi di kamar/bloknya sebesar 8,2%, pengguna bong sebesar 87,9%, yang mempunyai teman sekamar penderita TB Paru sebesar 20,9% dan riwayat keluarga yang pernah menderita TB Paru sebesar 4,5%.

Penyakit lain yang ditemukan adalah Hepatitis C dengan prevalensi sebesar 2,4%, Diabetes Mellitus dengan prevalensi sebesar 1,5%, maka kondisi tersebut sejalan dengan data 10 penyebab kematian pada narapidana dan tahanan di Indonesia tahun 2011 yaitu HIV/AIDS, penyakit TB, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit ISPA, penyakit pencernaan, penyakit susunan syaraf, bunuh diri dan gangguan jiwa, Diabetes Mellitus, Hepatitis dan penyakit lain (malaria, penyakit tulang dan gangguan otot) (sumber Rencana Aksi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Rutan, Lapas dan Bapas Tahun 2012-2014, Ditjen PAS Kemenkum HAM RI).

Kesimpulan

  1. Tidak ditemukan kasus BTA positif baru pada survey ini  tetapi angka prevalensi TB Paru relatif tinggi yaitu 1,2% yang ditemukan atau terdiagnosis (diskrining) sebelum masuk lapas. Faktor-faktor risiko terjadinya penularan TB di lapas relatif tinggi seperti lama tinggal di Lapas > 6 bulan sebesar 96,9%, kebiasaan meludah sembarangan sebesar 18,8%, tidak pernah imunisasi BCG sebanyak 42,4%, kepadatan hunian > 8 orang/m2 sebesar 100%, yang tidak mempunyai ventilasi di kamar/bloknya sebesar 8,2%, pengguna bong sebesar 87,9%, yang mempunyai teman sekamar penderita TB Paru sebesar 20,9% dan riwayat keluarga yang pernah menderita TB Paru sebesar 4,5%.
    1. Penyakit-penyakit lain yang ditemukan dan menyebabkan kematian di lapas tahun 2019 pada yaitu prevalensi Hepatitis C sebesar 2,4% dan prevalensi penderita Diabetes Mellitus sebesar 1,5%.

Saran/Rencana Tindak Lanjut

  1. Agar dilakukan edukasi kepada penghuni dan petugas lapas melalui penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain tentang TB Paru penularan dan upaya pencegahannya (secara rutin).
  2. Dibangun jejaring rujukan layanan kesehatan antara lapas dengan dinkes/faskes dan secara bertahap dilakukan layanan kesehatan pada penghuni lapas tersebut.***[Wasul Falah]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *